Sobat Infosehat, kali ini Saya ingin membagikan Laporan Pendahuluan Askep Respiratory Distress Syndrome (RDS) sebagai panduan sobat, khususnya mahasiswa perawat dalam membuat Asuhan Keperawatan RDS, mudah mudahan bisa bermanfaat bagi sobat semua, terutama mahasiswa keperawatan yang lagi butuh referensi pembuatan askep. Silakan dibaca lengkapnya di bawah ini :
A. Defenisi
Sindroma gagal nafas (respiratory
distress syndrom, RDS) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi
pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan
dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah
surfaktan dalam paru (Suriadi dan Yuliani, 2001). Gangguan ini biasanya dikenal
dengan namahyaline membran desease (HMD) atau penyakit
membran hialin karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang
melapisi alveoli.
B. Etiologi
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi
surfaktan pada RDS yaitu:
1.
Prematur
2.
Asfiksia perinatal
3.
Maternal diabetes
4.
Seksio sesaria.
Respiratory Distress
Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline
Membran Disease (HMD) didapatkan
pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang
lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur.
C. Patofisiologi
RDS terjadi atelektasis yang sangat
progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang disebut surfaktan. Surfaktan
adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit
tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max
pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%).
Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak
terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir
expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi
hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya
:
1. Oksigenasi jaringan
menurun>metabolisme anerobik dengan penimbunan asam laktat asam
organic>asidosis metabolic.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel
duktus alveolaris>transudasi kedalam alveoli>terbentuk fibrin>fibrin
dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan
menyebabkan terganggunya jantun, penurunan aliran darah keparum, dan
mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan terjadinya
atelektasis.
Sel tipe II ini sangat sensitive dan
berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan
kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi, IUGR
dan kehamilan kembar.
D. Tanda dan
Gejala
Gejala utama Gawat napas / distress
respirasi pada neonatus yaitu :
·
Takipnea :
laju napas > 60 kali per menit (normal laju napas 40 kali per menit)
·
Sianosis
sentral pada suhu kamaryang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan
dengan x-ray thorak yang spesifik
·
Retraksi :
cekungan pada sternum dan kosta pada saat inspirasi
·
Grunting :
suara merintih saat ekspirasi
·
Pernapasan
cuping hidung
Tabel 2. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes
Pemeriksaan
|
Skor
|
||
0
|
1
|
2
|
|
Frekuensi napas
|
< 60 /menit
|
60-80 /menit
|
> 80/menit
|
Retraksi
|
Tidak ada retraksi
|
Retraksi ringan
|
Retraksi berat
|
Sianosis
|
Tidak ada sianosis
|
Sianosis hilang dengan 02
|
Sianosis menetap walaupun diberi O2
|
Air entry
|
Udara masuk
|
Penurunan ringan udara masuk
|
Tidak ada udara masuk
|
Merintih
|
Tidak merintih
|
Dapat didengar dengan stetoskop
|
Dapat didengar tanpa alat bantu
|
Evaluasi:
< 3 = gawat napas ringan
4-5
= gawat napas sedang
>
6 = gawat napas berat
E. Pemeriksaan
Diagnostik/ Penunjang
Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus
yang mengalami Distress Pernafasan
Pemeriksaan
|
Kegunaan
|
Kultur darah
|
Menunjukkan
keadaan bakteriemia
|
Analisis gas
darah
|
Menilai
derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa
|
Glukosa darah
|
Menilai
keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat menyebabkan atau memperberat
takipnea
|
Rontgen
toraks
|
Mengetahui
etiologi distress nafas
|
Darah rutin
dan hitung jenis
|
Leukositosis
menunjukkan adanya infeksi
Neutropenia
menunjukkan infeksi bakteri
Trombositopenia
menunjukkan adanya sepsis
|
Pulse oximetry
|
Menilai
hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen
|
Sumber: Hermansen
F. Komplikasi
Komplikasi
jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi
kebocoran udara ( pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema
intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi,
apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2.
Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk
dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul
karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3.
Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak
pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
4
PDA dengan
peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan RDS
terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
Komplikasi
jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi
dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan
organ lain.
Komplikasi
jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan
penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa
gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang
digunakan pada waktu menggunakan
ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden
BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia,
komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
G. Penatalaksanaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan
Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan
meliputi :
1. Mempertahankan
ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan
keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan
suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan
perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah
hipotermia.
6. Mempertahankan
cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum :
a.
Pasang jalur
infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila bayi
tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
· Pantau selalu
tanda vital
· Jaga patensi
jalan nafas
· Berikan Oksigen
(2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
· Lakukan
tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
· Lakukan
penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut
sesuai dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas.
Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:
Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas
ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of
the Newborn” (TTN). Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi
tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian,
pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi
sistemik.
Gangguan nafas sedang
· Lakukan
pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat
diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup
· Bayi jangan
diberi minukm
· Jika ada tanda
berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi
kemungkinan besar sepsis.
-
Suhu aksiler
<> 39˚C
-
Air ketuban
bercampur mekonium
-
Riwayat infeksi
intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18 jam)
· Bila suhu aksiler
34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C tangani untuk masalah suhu abnormal dan nilai ulang
setelah 2 jam:
-
Bila suhu masih
belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan antibiotika untuk
terapi kemungkinan besar seposis
-
Jika suhu
normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan
tersebut diatas.
· Bila tidak ada
tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam
· Apabila bayi
tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi
untuk kemungkinan besar sepsis
· Bila bayi mulai
menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi o2secara bertahap . Pasang
pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan
ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum
· Amati bayi
selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak
kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi
tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan
Gangguan nafas ringan
· Amati
pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
· Bila dalam
pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi
untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan segera
dirujuk di rumah sakit rujukan.
· Berikan ASI
bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan salah
satu cara alternatif pemberian minuman.
· Kurangi
pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan
pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit
RDS adalah:
· Antibiotika
untuk mencegah infeksi sekunder
· Furosemid untuk
memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
· Fenobarbital
· Vitamin E
menurunkan produksi radikalbebas oksigen
· Metilksantin
(teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari
pemakaian ventilasi mekanik.
Salah satu
pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS adalah
pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya manusia,
didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan
buatan )
KONSEP
KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
Riwayat
maternal
-
Menderita
penyakit seperti diabetes mellitus
-
Kondisi
seperti perdarahan placenta
-
Tipe dan
lamanya persalinan
-
Stress
fetal atau intrapartus
Status
infant saat lahir
-
Prematur,
umur kehamilan
-
Apgar
score, apakah terjadi aspiksia
-
Bayi prematur
yang lahir melalui operasi caesar
Cardiovaskular
-
Bradikardi
(dibawah 100 x per menit) dengan hipoksemia berat
-
Murmur
sistolik
-
Denyut
jantung dalam batas normal
Integumen
-
Pallor
yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
-
Pitting
edema pada tangan dan kaki
-
Mottling
Neurologis
-
Immobilitas,
kelemahan, flaciditas
-
Penurunan
suhu tubuh
-
Pulmonary
- Takipnea (pernafasan lebih dari 60 x
per menit, mungkin 80 – 100 x )
-
Nafas
grunting
-
Nasal
flaring
-
Retraksi
intercostal, suprasternal, atau substernal
- Cyanosis (sentral kemudian diikuti
sirkumoral) berhubungan dengan persentase desaturasi hemoglobin
-
Penurunan
suara nafas, crakles, episode apnea
Status Behavioral
-
Lethargy
Study Diagnostik
-
Seri
rontqen dada, untuk melihat densitas atelektasis dan elevasi diaphragma dengan
overdistensi duktus alveolar
-
Bronchogram
udara, untuk menentukan ventilasi jalan nafas.
Data laboratorium
-
Profil
paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk janin
yang mempunyai predisposisi RDS)
Ø
Lecitin/Sphingomielin
(L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas paru
Ø
Phospatidyglicerol
: meningkat saat usia gestasi 35 minggu
Ø
Tingkat
phosphatydylinositol
-
Analisa
Gas Darah, PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60 mmHg, saturasi
oksigen 92% – 94%, pH 7,31 – 7,45
-
Level pottasium,
meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel alveolar yang rusak
B. Diagnosa
Keperawatan
1. Gangguan
pertukaran gas b.d imaturitas paru dan neuromuskular, defisiensi
surfaktan dan ketidakstabilan alveolar.
2. Bersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas
3. Tidak
efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang
kurang tepat.
4. Gangguan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menghisap, penurunan
motilitas usus.
5. Resiko tinggi deficit volume cairan
berhubungan dengan kehilangan cairan sensible dan insensible
6. Koping keluarga inefektif
berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan perpisahan dengan bayi
sebagai akibat situasi krisis
7. Resiko tinggi gangguan termoregulasi
: hipotermi b.d belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit.
C. Implementasi Keperawatan
1. Gangguan
pertukaran gas b.d imaturitas paru dan neuromuskular,
defisiensi surfaktan dan ketidakstabilan alveolar.
Tujuan: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola nafas efektif.
KH: - Jalan
nafas bersih
-
Frekuensi
jantung 100-140 x/i
-
Pernapasan
40-60 x/i
-
Takipneu atau
apneu tidak ada
-
Sianosis tidak
ada
Intervensi
a.
Posisikan untuk
pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi telentang dengan leher
sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalam posisi ’mengendus’
R: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
b.
Hindari
hiperekstensi leher
R: karena akan mengurangi diameter trakea.
c.
Observasi
adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan , kenali tanda-tanda distres
misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea.
R: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan
mencegah terjadinya distres pernafasan.
d.
Lakukan
penghisapan
R: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring,
trakea, dan selang endotrakeal.
e.
Penghisapan
selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan
R: memastikan bahwa jalan napas bersih
f.
Hindari
penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan
R: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar
g.
Observasi
peningkatan pengembangan dada setelah pemberian surfaktan.
R: menilai fungsi pemberian surfaktan.
h.
Turunkan
pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak dan oksigen
R: mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan.
2. Bersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan
: dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau
tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan :
-
Pasien dapat
mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
-
Pasien bebas
dari dispneu
-
Mengeluarkan
sekret tanpa kesulitan
-
Memperlihatkan
tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Tindakan :
Independen
a.
Catat perubahan
dalam bernafas dan pola nafasnya
R:Penggunaan
otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha dalam bernafas
b. Observasi dari
penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus R:Pengembangan
dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan dapat
meningkatkan fremitus
c.
Catat
karakteristik dari suara nafas
R:Suara nafas
terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo branchial dan juga karena
adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran nafas
d. Catat
karakteristik dari batuk
R:Karakteristik
batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi dari jalan nafas.
Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan purulent
e.
Pertahankan
posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
R:Pemeliharaan
jalan nafas bagian nafas dengan paten
f.
Kaji kemampuan
batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction bila ada indikasi
R:Penimbunan
sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan atelektasis dan
infeksi paru
g. Peningkatan
oral intake jika memungkinkan
R:Peningkatan
cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif
h. Berikan
oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi R:Mengeluarkan
sekret dan meningkatkan transport oksigen
i.
Berikan therapi
aerosol, ultrasonik nabulasasi
R:Dapat
berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
j.
Berikan
fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada
indikasi
R:Meningkatkan
drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot pernafasan
k. Berikan
bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik R:Diberikan
untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan meningkatkan
ventilasi
3. Tidak efektifnya pola nafas yang
berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan ventilator, tidak berfungsinya
ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang tepat.
Tindakan :
Independen
a.
Kaji status
pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas
R:Takipneu
adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan usaha nafas
b. Catat ada
tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan
wheezing
R:Suara nafas
mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan
cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya
mukus pada jalan nafas
c.
Kaji adanya
cyanosis
R:Selalu
berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum cyanosis
muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya
hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah
vasokontriksi.
d. Observasi
adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat
R:Hipoksemia
dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
e.
Berikan
istirahat yang cukup dan nyaman
R:Menyimpan
tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen
Kolaboratif
f.
Berikan
humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi
R:Memaksimalkan
pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan yang sesuai
g. Berikan
pencegahan IPPB
R:Peningkatan
ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
h. Review X-ray
dada
R:Memperlihatkan
kongesti paru yang progresif
i.
Berikan
obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator dan
ekspektorant
R:Untuk
mencegah ARDS
4. Gangguan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menghisap, penurunan
motilitas usus.
Tujuan
: Mempertahankan dan mendukung intake nutrisi
Intervensi
Rasional
a.
Berikan
infus D 10% W sekitar 65 – 80 ml/kg bb/ hari
R:
Untuk menggantikan kalori yang tidak didapat secara oral
b. Pasang selang nasogastrik atau
orogastrik untuk dapat memasukkan makanan jika diindikasikan atau untuk
mengevaluasi isi lambung
R:Pilihan
ini dilakukan jika masukan sudah tidak mungkin dilakukan.
c.
Cek lokasi
selang NGT dengan cara :
-
Aspirasi
isi lambung
-
Injeksikan
sejumlah udara dan auskultasi masuknya udara pada lambung
-
Letakkan
ujung selang di air, bila masuk lambung, selang tidak akan memproduksi
gelembung
R:
Untuk mencegah masuknya makanan ke saluran pernafasan
d. Berikan makanan sesuai dengan
prosedur berikut :
-
Elevasikan
kepala bayi
-
Berikan
ASI atau susu formula dengan prinsip gravitasi dengan ketinggian 6– 8 inchi
dari kepala bayi
-
Berikan
makanan dengan suhu ruangan
-
Tengkurapkan
bayi setelah makan sekitar 1 jam
R:
Memberikan makanan tanpa menurunkan tingkat energi bayi
e.
Berikan
TPN jika diindikasikan
R:
TPN merupakan metode alternatif untuk mempertahankan nutrisi jika bowel sounds
tidak ada dan infants berada pada stadium akut.
5. Resiko tinggi deficit volume cairan
berhubungan dengan kehilangan cairan sensible dan insensible
Tujuan
: Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Intervensi
Rasional
a.
Pertahankan
pemberian infus Dex 10% W 60 – 100 ml/kg bb/hari
R:
Penggantian cairan secara adekuat untuk mencegah ketidakseimbangan
b. Tingkatkan cairan infus 10
ml/kg/hari, tergantung dari urine output, penggunaan pemanas dan jumlah
feedings
R:
Mempertahankan asupan cairan sesuai kebutuhan pasien. Takipnea dan penggunaan
pemanas tubuh akan meningkatkan kebutuhan cairan
c.
Pertahankan
tetesan infus secara stabil, gunakan infusion pump
Untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan.
Untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan.
R:Kelebihan
cairan dapat menjadi keadaan fatal.
d. Monitor intake cairan dan output
dengan cara :
-
Timbang
berat badan bayi setiap 8 jam
-
Timbang
popok bayi untuk menentukan urine output
-
Tentukan
jumlah BAB
-
Monitor
jumlah asupan cairan infus setiap hari
R:Catatan
intake dan output cairan penting untuk menentukan ketidak seimbangan cairan
sebagai dasar untuk penggantian cairan
e.
Lakukan
pemeriksaan sodium dan potassium setiap 12 atau 24 jam
R:Peningkatan
tingkat sodium dan potassium mengindikasikan terjadinya dehidrasi dan potensial
ketidakseimbangan elektrolit
6. Koping keluarga inefektif
berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan perpisahan dengan bayi
sebagai akibat situasi krisis
Tujuan
: Meminimalkan kecemasan dan rasa bersalah, dan mendukung bounding antara
orangtua dan infant
Intervensi
Rasional
a.
Kaji
respon verbal dan non verbal orangtua terhadap kecemasan dan penggunaan koping
mekanisme
R:Hal
ini akan membantu mengidentifikasi dan membangun strategi koping yang efektif
b. Bantu orangtua mengungkapkan
perasaannya secara verbal tentang kondisi sakit anaknya, perawatan yang lama
pada unit intensive, prosedur dan pengobatan infant.
R:
Membuat orangtua bebas mengekpresikan perasaannya sehingga membantu menjalin
rasa saling percaya, serta mengurangi tingkat kecemasan
c.
Berikan
informasi yang akurat dan konsisten tentang kondisi perkembangan infant
R:
Informasi dapat mengurangi kecemasan
d. Bila mungkin, anjurkan orangtua
untuk mengunjungi dan ikut terlibat dalam perawatan anaknya
R:
Memfasilitasi proses bounding
e.
Rujuk
pasien pada perawat keluarga atau komunitas
R:
Rujukan untuk mempertahankan informasi yang adekuat, serta membantu orangtua menghadapi
keadaan sakit kronis pada anaknya.
7. Resiko tinggi gangguan termoregulasi
: hipotermi b.d belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan suhu tubuh tetap normal.
Kriteria Evaluasi :
-
Suhu 37 °C
-
Bayi tidak
kedinginan
Intervensi
dan Rasional :
a.
Tempatkan
bayi pada tempat yang hangat
R : Mencegah terjadinya hipotermi
b. Atur suhu incubator
R : Menjaga kestabilan suhu tubuh
c.
Pantau
suhu tubuh setiap 2 jam
R : Memonitor perkembangan suhu
tubuh bayi
DAFTAR PUSTAKA
Evan.
2011. Asuhan Keperawatan Pasien Respiratory Distress Syndrome (RDS), diakses
pada tanggal 10 September 2011
Hermansen C, Lorah K. Respiratory
distress in the newborn. Am Fam Physician. 2007;76:987-94.
Indrasanto, Eriyanti., dkk. 2008. Paket Pelatihan Pelayanan Obsetri Dan
Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK).
Kosim. M.S., 2010. Deteksi Dini Dan Manajemen Gangguan Napas
Pada Neonatus Sebagai Aplikasi P O N E K (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency
Komprehensif). Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi/ FK UNDIP Semarang
Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal.
303-306.
Nur .A ., dkk. 2010. Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory Distress
Syndrome. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair/RSUD Dr.
Soetomo
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Editor : Rusepno Hassan & Husein
Alatas, Bagian IKA FKUI, Jakarta 1985, hal.
Surasmi,Asrining,dkk.2003.Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC
Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan
Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta : CV Sagung Seto
Winarno, dkk, Penatalaksanaan
Kegawatan Neonatus, dalam Simposium Gawat Darurat Neonatus, Unit Kerja
Koordinasi Pediatri Darurat IDAI, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1991, hal.
151-153.
Trimakasih mau berbagi
ReplyDelete